KOSMOLOGI
DAN MITOLOGI ARSITEKTUR DI BALI
ARSITEKTUR BALI
Arsitektur Bali diwujudkan pada bangunan tempat
ibadah (pura), tempat musyawarah (Bale Banjar), dan tempat tinggal yang
masing-masing dilengakapi tempat penyimpanan. Baik Pura, Bale Banjar, maupun tempat tinggal
membentuk masa bangunandidalam suatu pekarangan berdasarkan falsafah dan konsep
tata-ruang mengikuti pedoman dari rontal-rontal para undagi. Komposisi,
proporsi, kesatuan, harmoni, kenyamanan serta keindahan sebagai unsure-unsur
arsitektur modern terwujud sempurna dalam arsitektur Bali.
Denah
bangunan berukuran kecil dengan bentuk kecil dengan bentuk yang pasti, bujur
sangkar atau persegi empat. Tipe bangunan terbagi menurut jumlah tiang, mulai
dari tiang empat, tiang enam, tiang delapan, tiang Sembilan dan tiang dua
belas. Penyelarasan bertingkat (kepala-badan-kaki) diterapkan sampai kedeatail
terkecil dari suatau bangunan. Secara struktural atap adalah kepala, tiang dan
dinding sebagai badan, lantai batur sebagai kaki bangunan. Keseluruhan
structural bangunan membentuk kesatuan kontruksi yang setabil, estetis,
fungsional dan tahan gempa. Hubungan elemen-elemen kontruksi hanya memakai
pasak, baji dan tali sehingga mudah untuk dibongkar-pasang.
Baik
Pra, rumah atau banjar semuanya dikelilingi pagar tembok, Pagar masif
(penyengker) yang dipadu candi bentar, kori atau kori agung adalah bagian yang
tidak terpisahkan, sebagai ekspresi citra tata ruang yang tinngi nilai
budayanya. Penyengker dipercaya sebagai wujub perlindungan empat kekuatan alam
(air,api, tanah, udara) yang menempati sudut-sudut pekarangan. Dalam hal ragam
hias sebagai cirri khas arsitektur Bali
mengambil tiga bentuk kehidupan makhluk bumi (manusia, flora dan fauna).
Unsur-unsur estetika, etika dan logika mendasarai pengolahan dan penempatan
ragam hias, denagn mengingat nilai –nilai ritual yang disandangnya.
Arsitektur diartikan perwujudan ruang dan waktu,
dalam pengertian tradisional masih terkandung faktor keadaan yang disebut “Desa-Kala-Patra” dalam
hubungannya dengan aktifitas manusia budaya.
Tradisional
adalah kecenderungan untuk mewujudkan tatacara tanpa mengadakan perubahan,
berthan atas kesepakatan turun menurun. Maka, arsitektur tradisional adalah perwujudan ruang untuk fungsinya
disetiap waktu berpedoman pada aturan tata cara yang telah memasyarakat dalam
hubungannya dengan perwujudan bentuk-bentuk arsitektur.
Asta
Kosali dengan berbagai sebutan lainnya merupakan pedoman pokok pelaksanaan
arsitektur tradisional Bali yang mengandung:
1.Aturan yang terkandung dalam arsitektur tradisional.
2. Tata cara mengunakan material proses pembangunan pengurip, pemelaspas, dan
pemakaiannya.
3.Kemampuan pengalaman yang turun –menurub untuk
peneran selanjutnya.
Arsitektur
tradisional dapat mendekatakan manusia dengan alam lingkungannya yang dijumpai
dalam: “Panacamaha Bhuta” yang merupakan lima unsure pokok yang mewujudkan
jagad raya ini (makro kosmo) dan manusia (mikro kosmo). Kelimanya adalah:apah,
teja, bayu pertiwi, akasa.
Menurut
Robert Geldern,1982; “hal-hal meta fisik di Asia Tenggara (India, Muangtai,
Myanmar, Indonesia) yang berupa konsep keseimbangan antara mikro kosmo dan
makro kosmo “. Penerapan konsep ini di Bali, arsitek disebut sebagai undagi dan
pedoman perancangan karya-karya arsitektur.
Nilai tata lingkungan ditujukan dalam konsep tradisional yang dijumpai dalam Nistya, Madya, utama
dalan arah horizontal maupun vertical. Nilai utama diberikan pada arah “kaja”
yaitu kearah gunung. Nilai nista diberikan pada arah “kelod” yaitu kearah laut.
Nilai ” Madya” (sedang)diberikan pada bagian tengah. Denagn demikian, tata
nilai ruang tradisional berlaku menrus pada pola lingkungan tersebar sampai
elemen terkecil.
LATAR BELAKANG
SEJARAH RUMAH BALI
Kebubudayaan
Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana dari benda-benda alam
disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an dengan bembentuk benda-benda
alam dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan
manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali mula tidak banyak
meninggalkan peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai
sebagai bahan perwujudan Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim tropis pada
kurun waktu yang lama. Peninggalan-peninggalan kebudayaan Bali Aga masih dapat
ditemukan di beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta Embul, Gua Gajah, dan
beberapa tempat di Bedulu sebagai lokasi pusat kerajaan pada masa Bali Aga.
Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa
Bali Aga yang meninggalkan beberapa data arsitektur , diantaranya adalah konsep
Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari setiap desa adat Bali,
Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori Arsitekturnya yaitu bangunan seperti
pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai sebagai potensi site.
Empu
Kuturan Sebagai budayawan besar mendampingi Anak Wungsu yang memerintah Bali
sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek yang banyak meninggalkan
teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama. Tata pola desa adat,
Khyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan lainnya merupakan
karya dari Empu Kuturan.
Dang
Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti Wawurauh
merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar
pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek
besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan
diberbagai bidang budaya lainnya. Padmasana merupakan konsep beliau untuk
banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Tirtayatra merupaka sebuah budaya di Bali
yang berarti perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan
peninggalan dari Dang Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau
mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur,
perjalanan ini menuju ke pura-pura di daerah-daerah tersebut.
Setelah
kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-masing sebagai ibu
kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan dirinya< karena
adanya pedoman berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan Empu kuturan
yang dikembangkan oleh para undagi (tukang).
Dewanya
undagi adalah Asta Kosali sebagai teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali.
Setelah Bali dikuasai Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami
pengaruh asing yang disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah ada.
Bangunan-bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan seperti Patra Cina,
Patra Mesir, Patra Olanda.
KESENIAN
Dalam
kehidupan masyarakat Bali kesenian adalah sebagian dari hidupnya, Kesenian
sebagai bagian dari kebudayaan, sebagaimana kebudayaan, kesenian juga lahir
dari hubungan manusia dengan alamnya.
Kesenian
dengan cabang-cabang, yaitu; seni rupa, seni gerak (tari) dan seni suara
(musik), perwujudannya mencerminkan hubungan manusia dan alam lingkungan. Senu
rupa alam, manusia, alam dan manusia dalam berbagai macam bentuknya.
Senu
sura (music) disuarakan oleh manusia dengan suaranya atau alatnya mengambil
pula suara-suaraalam atau isi isi alam. Seni gerak yang umumnya disajikan dalam
bentuk seni tari pada dasarnya mengambil gerakan-gerakan alam atau isi alam.
Seni dalam perwujudannya ada yang ditampilkan dalam bentuk
cabangnya, ada juga yang merupakan gabungan. Pada seni tari terkandung unsure
kesenirupaan pada ragam hiasnya, seni suara pada tembang atau dialog dan
gamelan pengiring, seni gerak pada sikap gerak-gerik tarinya. Keseluruhann
merupakan kesatuan bentuk penyajian yang harmonis, dinamis, dan artistic
energic.
Dari
sebagian kehidupan masyarakat menyertai pula masyarakat dalam bentuk
aktivitasnya. Ada seni sacral yang hanya untuk kepentingan keagamaan, ada seni
provan untuk dimasyarakatkan atau dikomersilkan dalam batas-batas kewajaran.
Berbagai seni tercerminkan dalam Arsitektur, Arsitektur akrab dengan berbagai
bentuk seni (sumber:I Nyoman Gelebet,1986)
A.TIPOLOGI ARSITEKTUR BALI
Berdasarkan
jenis-jenis bangunan Bali, tipologi bangunan dibagi menjadi empat yaitu rumah
tempat tinggal, tampat pemujaan, bangunan tempat musyawarah dan babgunan tempat
penyimpanan.
a.Rumah Tempat Tinggal
Tipologi
bangunan tradisional Bali umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan
utama, madia dan sederhana. Tembok penyengker (batas) pekaranagan , kori dan
lumbung dalam bangunan perumahan typologinya disesuaikan dengan tingkatan
perumahan dan fungsinya masing-masing.
Jenis banguan tempat
tinggal menurut tipologi Arsitektuer Tradisional Bali
Golongan
Utama
·
Astasari
Diklasifikasikan
sebagai bangunan utama dalam fungsinya sebagainya sanggah. Fungsinya untuk Bale
Sumanggen (bangunan tempat upacara adat, tamu dan tempat bekerja serbaguna) .
Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas bangunan sekitar 4m X 5m, tinggi
lainya sekitar 0,60 m dengan tiga atau empat anak tangga kearah natah. Dinding
sebelah timur dan selatan tertutup penuh, setengah tinngi pada sisi barat, dan
pada sisi utara terbuka kearah natah.
·
Tiangsanga
Bangunan utama di perumahan utama. Bentuk dan fungsi
bangunan serupa dangan astasari, hanya saja jumlah tiangnya lebih banyak yaitu
sembilan. Penutup atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup dengan dengan
alang-alang. Fungsinya utama bangunan ini adalah untuk Sumanggeng tetapi dapat
juga digunakan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah sebagai pemisah
antara ruang tidur dan ruang duduk.
·
Sakaroras
Bentuk bangunan bujur sangkar dengan kontruksi
atap limasan berpuncak satu dengan jumlah tiang dua belas. Bangunan sakaroras
juga disebut juga Bale Murdha apabila hanya satu balai-balai yang mengikat
empat tiang dibagian tengah, disebut
gunung rata apabila difungsikan sebagai bale meten (ruang tidur) dengan dedeleg
sebagai puncak atap.
Penyelesaian detail kontruksi bangunan
sakaroras, Tiangsanga dan Astari dihias
dengan ornamen-ornamaen dekoratif. Tiang-tiang dihias dengan kekupaken
paduraksa tagok, caping, ulur lelengisan ataupun diukir. Puncak atap bagian
dalam ruangan dengan petaka atau dedeleg juga dihiasi dengan lelengisan ataupun
ukiran sendi tugeh pepindahan Garuda Wisnu atau Singa Ambara Raja.
Golongan Madia
·
Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan tunggaldengan
fungsi tunggal sebagai ruang tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan
persegi panjang dengan delapan tiang, yang dirangakai menjadi empat-empat.
Kontruksi atap dengan system kampiyah bukan limas an difungsikan untuk
sirkulasi udara selain udara yang datang melalui celah antara atap dan kepala
tembok.
Dalam variasinya sakutus diberi atap tonjolan di
atas depan pintu. Lantai dari sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya untuk
estetika.
Golongan Sederhana
·
Sakenem
Bangunan yang termasuk perumahan tergolong
sederhana bila bahan dan penyelesaian sederhana. Dapat pula digolongkan madia
bila ditinjau dari penyelesaian untuk sakenem yang dibangun dengan bahan dan
cara madia.
·
Padma
Fungsi utamanya adalah untuk tempat pemujaan
Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk yang lengkap, madia dan sederhana masing-masing
disebut dengan padmasana. Bentuk bangunan serupa dengan candi yang dikembangkan
lengkap dengan pepalihan. Bentuk dasar padmasana adalah bujur sangkar dengan
tinggi 5m dengan dimensi 3m X 3m. Bahan menngunakan batu alam.
·
Gedong
Bentuknya serupa dengan tugu, hanya pada bagian
kepala terbuat dari kontruksi kayu degan bahan penutup atap berupa alang-alang,
ijuk ataupun bahan lainnya yang dapat disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.
·
Meru
Bentuknya menonjolkan keindahan atap yang
bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu
ganjil, meru tumpang telu, tumpang lima, tumpang pitu, tumpang songo, tumpang
sewelas sebagai tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk Meru merupakan kontruksi rangka diatas
bebaturan (badan) merupakan kontruksi tahan gempa, dibandingkan degan candi
atau bentuk-bentuk bangunan pemujaan yang tinggi.
c.Bangunan Tempat Musyawarah
Bangunan
tempat musyawarah adalah bangunan-bangunan terbuka dengan bentangan ruang yang
cukup luas sesauai dengan jumlah pemakaiannya. Bangunan juga mudah dialih
fungsikan sehubungan dengan fungsi-fungsinya yang serbaguna.
·
Bale Sakenem
Bangunan bertiang enam, dengan balai-balai yang mengikat
keenam tiang. Pimpinan musyawarah duduk disalah satu sisi menghadap ketengah. Pangkal kaki tiang
tanpa pen/purus menumpu pada sendi alas tiang. Atap menggunakan kontruksi atap
limas an dengan penutup atap alang-alang.
·
Bale lantang
Bentuk bangunan seruoa dengan sakenem, dua deret
tiang kea rah panjang kelipatan dua, delapan tiang, sepuluh tiang atau lebih
banyak untuk bangunan lebih panjang. Bangunan Bale Lantang banyak dipakai
tempat untuk beraktifitas.
·
Bale Gede
Bangunan bertiang dua belas, berpuncak satu susunan
tiang empat-empat tiga deret. Empat tiang sederet di bagian teben tanpa sunduk,
ikatan kepala tiang dengan sanga wang.
·
Bale mandapa
Banguan pokok bertiang dua belas serupa bale gede
dengan kemungkinan variasinya. Bale Mendapa dengan lantai utama dua belas tiang
dan lantai teras dua belas tiang sejajar sepanjang sisi bangunan. Bale mendapa
ini difungsikan untuk sumanggen, yang lebih mengutamakan fungsi untuk upacara
adat.
·
Bale Matumpang
Pengertian matumpang adalh bertingkat, Gedong dan
Meru yang bertingkat adalah atapnya, bale metumpang atapnya bertingkat untuk
wantilan. Untuk menyangga kontruksi atap tumpang, dibutuhkan kontruksi khusus
untuk atap tumpang pada wantilan.
d. Bangunan Tempat Penyimpanan
·
Kelumpu
Bangunan dengan denah segi empat tiang empat atau enam,
memakai atap pelana. Ruang terkurung dari atas balai-balai sampai kea tap.
Memasukkan padike dalam ruang penyimpanan dari sisi banguanan.
·
Jineng
Bangunan tempat penyimpanan padi dengan denah segi empat,
Ruang tempat penyimpanan di bagian atas pada sisi atap yang lengkung. Ruang
dibawahnya untuk tempat bersantai atau duduk-duduk. Struktur dan kontruksinya
menggunakan system struktur bangunan bertingkat.
·
Gelebeg
Bentuknya serupa dengan jineng, hanya saja gelebeg
menggunakan tiang enam atau delapan. Perbedaan jineng dan gelebeg adalah pada
gelebeg tempat penyimpanan mulai dari bawah sampai ke balai-balai atau atap.
·
Kelingking
Kelingking adalah penggandaan bangunan tipe lumbung atau
kelumpu dengan dimensi yang lebih luas. Bahan penutup atapnya biasana
alang-alang untuk sirkulasi udara yang baik. Dimensi-dimensi disesuaikan dengan
pembebanan stabilitas dan keindahan.
·
Gedong Simpen
Struktur dan kontruksinya disesuaikan dengan benda yang disimpan
di dalamnya. Fungsinya adalah untuk menyimpan benda-benda ritual dan sacral.
Benda-benda ritual seni tari seperti wayang gong, kostum barong, rangda dan
lain-lainnya juga membutuhkan gedong simpen.
KONSEP PENDEKATAN
BANGUNAN TRADISIONAL BALI
1.Pola Natah
Pola natah yang juga merupakan pola yang
membentuk core (pusat) secara bersama. Pola ini biasanya juga disebut sebagai
“pola papan catur”. Dimana suatu
pekarangan dibagi menjadi Sembilan bagian, dengan arah kajakangin (timur laut)
sebagai arah tutama pada kesembilan bagian tersebut . Dan arah tengah merupakan
pusat (poros) yang mengikat keseluruhan dari bangunan –bangunan yang ada pada
satu unit hunian tersebut. Daerah tengah (poros) tersebut diberi nama natah
sehinnga pola ini sering disebut sebagai pola natah. Adapun pembagian
kesembilan arah dalam pekarangan
2.Tri Angga
Bangunan tradisional diatur dalam upacara agama.
Bangunan , alam semesta dipandang sebagai bhuwana agung hakekatnya. Bhuwana
alit sama dengan bhuwa agung hanya dengan skala yang berbeda. Dalam bangunan
seperti bale-bale seperti :bale meten, bale dangin, bale dauh, dan
lain-lainya,dipandang sebgaia miniature dari bhuwana agung dengan menampilkan
tiga unsure: atma, sarira, tri kaya.
Unsur tersebut merupakan konsep perwujutan bangunan
perumahan tradisional
Bangunan pemenjaraan (suci), dapat
dipandang sebagai intinya atau atma perumahan.
Pekarangan, pelembangan dan segala
perwujudannya dapat dipandang sebagai sarira atau awak ,badan bangunan atau
fisik.
Pawongan (orang-orang yang tinggal)
dapat dipandang sebagai Tri Kaya.
Kemanunggalan ketiga unsure : Pemerajaan atau tempat
suci,Pelemahan dan Pawongan disebut sebagai “Tri Hita karana”. Dus Tri Hita
karana menjadi konsep perwujutan bangunan tradisional yang dibagi atas tiga
bagian:
Konsep utama,madya,nista: Tria angga ini merupakan
konsep dasar perwujudtan bale-bale tradisional Bali (bangunan tradisional
Bali).
Masyarakat
bali mempercayai bahwa “ketinggian” adalah untuk para dewa. Dunia tengah untuk
manusia dan’ kedalaman’ (dunia bawah)untuk roh-roh jahat. Hal ini wajar bagi
orang Bali yang hidup sangat dekat dengan alam untuk memandang’ alam dalam
arti’magis dan spiritual.
Sejak
dulu masyarakat Bali senang beranggapan tentang alamsemesta yang tentram membentang
dari surga ditas gunung menuju kekedalaman laut. Segala sesuatu dialam memiliki
arah, kedudukan dan tempat. Segala dianggap suci atau sacral dihubungkan dengan
ketinggian, gunung-gunung dan arah ke hulu melalui gunung Agung,gunung api atau
vulkano paling sacral dan tertinngi di Bali.
Semua ancaman dan bahaya berasal dari kekuatan
“bawah dunia “ samudra yang tak terukur dan arah kehulu melalui laut. Kediaman
manusia terlatak didunia penengah yaitu daratan subur antara gunung-gunung dan
laut. Tugas manusia adalah mengupayakan keseimbangan dan harmoni antara dua
kekuatan yang saling bertolak belakang tersebut. Roh-roh suci (para dewa dan leluhur )yang tinggal digunung-gunung
dihormati melalui pemujaan dan ibadat sedangkan roh-roh jahat (iblis dan penyihir)
yang berdiam dilaut ditentramkan melalui “pemurnian”.
Berdasarkan
kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar “Rwe-bhineda atau
Semara Ratih” berarti perdamaian dari kutub-kutub yang berbeda, elemen-elemen,
norma-norma atau nilai-nilai. Mereka selalu berusaha mencapai kesatuan anatar
Bhuwana Alit ( manusia-manusia atau individu, mikro-kosmos), yang akan membawa
kemoksa (kesempurnaan).
Filosofi
dasar lain yang tak kalah penting disebut “ Tri Hita Karana” yang berarti tiga
unsure kebaikan. Dasar dari filosofi ini adalah bahwa segala sesuatu
didunia mengandung tiga komponen
1.Atma
( jiwa)
2.
sarira (badan fisik)
3.
Tri Kaya (kekuatan atau kemampuan)
Konsep
dasar Tri Angga, yang berkaitan erat dengan desain dan perancanaan Arsitektur,
berasal dari Tri Hita Karana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi
tiga komponenatau daerah yaitu: Nista (dasar<najis,kaki), madya (tengah,
netral, badan), utama (atas,murni,kepala). Dunia fisik, kehidupan fisik
kehidupan nyata dan waktu juga dianggap mengandung tiga komponen tersebut
misalnya : Hidrosfir-Litosfir-Atmosfir, laut-daratan-gunung, roh
jahat-manusia-dewa, masa lalu-masa kini-masa depan, dan sebagainya.
KONSEPSI BUDAYA
TRADISIONAL BALI
Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai
manusia bersifat sosial dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif
dan perjalanan historis mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem
sosial dan sistem budayanya secara khas, seperti misalnya sistem sosial Bali
sebagai salah satu sistem sosial budaya Indonesia, diantara kebhinekaan sistem
sosial yang ada di Indonesia. Pengertian
kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang
digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan dan pengalamannya,
serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya
kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan
pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur
kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau
etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada (1990:44), menjelaskan
budaya Bali tidak bisa lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang mempunyai tiga
unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya untuk
mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; “Moksartham
Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”.
Dalam
kehidupan sehari-hari dalam pembiasan-pembiasan yang berhubungan dengan tatwa,
susila, upacara, lebih mengarah pada perwujudan untuk mencapai hubungan
yang harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan Yang Maha Esa (bhuana
agung), melahirkan suatu adat yang banyak mencakup aspek kehidupan berupa
konsepsi-konsepsi.
Konsepsi
Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai bhuana
alit dengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari
konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah
interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut
(Kaler, 1983:44). Konsepsi Tri Angga yang
mengatur susunan unsur-unsur kehidupan manusia di alamnya/lingkungan fisik,
yaitu; utama angga, madya angga, dan nista angga. Dalam kehidupan
sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah maupun desa. Suatu adat
atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya keseimbangan hubungan manusia
dengan alam, manusia dengan sesama dalam perhitungan ergonomis dan estetika
bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi.
(Astika, 1986:7).
FILOSOFI
PERUMAHAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI
Terwujudnya
pola perumahan tradisional sebagai lingkungan buatan sangat terkait dengan
sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi
agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek
kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan,
yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai kehidupan bermasyarakat.
Rumah
tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur,
makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan
psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati.
dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya
sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.
Agama
Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala
isinya yakni bhuana agung (Makrokosmos) dengan bhuana alit (Mikro
kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan/bangunan
dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah
tersebut (Subandi, 1990).
Manusia
(bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain
memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan
fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan
harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim
ibu). Rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan
perkembangan janin tersebut, demikian pula halnya manusia berada, hidup,
berkembang dan berlindung pada alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan
konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu pula, setiap wadah kehidupan
atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu Bhuana
agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri Hita Karana Tri
Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti
kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab
musabab atau sumbernya sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan
kehidupan (kebaikan), yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2).
Prana (tenaga), 3). Angga (jasad/fisik) (Majelis Lembaga Adat,
1992:15).
Bhuana
agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh manusia
(bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri
Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri
Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan
/Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai
unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad
(Kaler, 1983:44).
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi
terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam
semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam alam semesta
jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai
tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat desa);
jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat)
dan jasad adalah palemahan (wilayah desa). Demikian pula halnya dalam
banjar: jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga
banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal
jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan
jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga
adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh
manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat
dilihat dalam Tabel 1.
|
Jiwa/Atma
|
Tenaga/Prana
|
|
Alam Semesta (Bhuana Agung)
|
Paramatman (Tuhan Yang Maha Esa)
|
Tenaga (yang menggerakan
alam)
|
Unsur-unsur panca maha
bhuta
|
Desa
|
Kahyangan Tiga (pura desa)
|
Pawongan (warga desa)
|
Palemahan (wilayah desa)
|
Banjar
|
Parhyangan (pura banjar)
|
Pawongan (warga banjar)
|
Palemahan (wilayah banjar)
|
Rumah
|
Sanggah (pemerajan)
|
Penghuni rumah
|
Pekarangan rumah
|
Manusia (Bhuana Alit)
|
Atman (jiwa manusia)
|
Prana (tenaga sabda bayu
idep)
|
Angga (badan manusia)
|
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:5); Meganada, (1990:72).
Tri
Hita Karana (tiga unsur kehidupan)
yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun
dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga.
Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang
lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista
Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri
Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah
Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana
nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah
dan nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku
dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung) sampai yang paling
mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki nilai utama;
dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam
perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya),
Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri
Angga dalam susunan kosmos dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel
2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos
Susunan/Unsur
|
Utama Angga Sakral
|
Madya Angga Netral
|
|
Alam Semesta
|
Swah Loka
|
Bwah Loka
|
Bhur Loka
|
Wilayah
|
Gunung
|
Dataran
|
Laut
|
Perumahan/Desa
|
Kahyangan Tiga
|
Pemukiman
|
Setra/Kuburan
|
Rumah Tinggal
|
Sanggah/Pemerajan
|
Tegak Umah
|
Tebe
|
Bangunan
|
Atap
|
Kolom/Dinding
|
Lantai/Bataran
|
Manusia
|
Kepala
|
Badan
|
Kaki
|
Masa/Waktu
|
Masa depan
Watamana
|
Masa kini
Nagata
|
Masa lalu
Atita
|
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:6); Adhika (1994).
Tri
Angga yang memberi arahan tata nilai
secara vertikal (secara horisontal ada yang menyebut Tri Mandala), juga
terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman tata nilai di dalam
mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung dan Bhuana alit.
Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi
yaitu: arah kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh
dan lebah), 3). berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur-Barat
(Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati. dkk, 1985:7).
Tata
nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan
nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod
(laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah
matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem
tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga
Mandala, yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. (Adhika; 1994:19).
Konsep
tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan
dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata
Nawa Sanga (Meganada, 1990:58) dan lihat Gambar 2.
Konsepsi tata ruang Sanga
Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak
bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama,
memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin),
kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh),
sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk,
1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika,
1994:24) dan jelasnya lihat Gambar 3.
Dalam
skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan
yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin),
letak Pura Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod-kauh),
dan permukiman pada daerah madya, ini terutama terlihat pada perumahan
yang memiliki pola Perempatan (Catus Patha). (Paturusi; 1988:91).
Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, konsep Tri Mandala,
menempatan: kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, kegiatan yang
bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan kegiatan
yang dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada
perumahan yang memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik
mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan
sebagai berikut yaitu: 1). Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana),
2). Hirarkhi tata nilai (Tri Angga), 3). Orientasi kosmologis (Sanga
Mandala), 4). Konsep ruang terbuka (Natah), 5). Proporsi dan skala,
6). Kronologis dan prosesi pembangunan, 7). Kejujuran struktur (clarity of
structure), 8). Kejujuran pemakaian material (truth of material).
(Juswadi Salija, 1975; dalam Eko Budihardjo, 1986). Lihat Gambar 4.
Munculnya
variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya konsep Tri
Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan Desa-Kala-Patra
(tempat, waktu dan keadaan) dan Desa-Mawa-Cara yang menjelaskan
adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini
ditunjukkan oleh keragaman pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).
Perumahan
tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta
pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi
pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala
keluarga, seperti; tangan, kaki dan lainnya. (Meganada: 1990:61). Dasar
pengukuran letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan
Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah
pengurip. (Adhika, 1994:25). Lihat Gambar 5. dan
6.
Di
dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan
tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:
1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung
ada disebelah Timur atau Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong
atau pekarangan lain seperti: sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin
Pura.
2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung,
atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.
3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh
pekarangan/rumah sebuah keluarga lain. Pantangan ini dinamakan: Karang
Kalingkuhan.
4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran
atap dari rumah orang lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.
5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada
sebelah- menyebelah jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang
Negen.
6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu
dengan sudut Timur Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada
sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu
Nginyah.
7. Dan lain sebagainya.
PERUMAHAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI
Pengertian
Perumahan Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat),
merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang terdiri dari 3 unsur,
yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga),
dan karang desa (wilayah) (Sulistyawati, 1985:3). Sedangkan
menurutGelebet (1986: 48), perumahan atau pemukiman tradisional merupakan
tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat lingkungan dengan
latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.
Perumahan
Tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti; hubungan yang harmonis antara
Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana,
Tri Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang
memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun
perumahan (desa). Hasil dari penurunan konsep tata ruang ini sangat
beragam, namun Ardi P. Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut dalam
perumahan tradisional Bali, yaitu:
1. Atribut Sosiologi menyangkut sistem
kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat,
sistem banjar, sistem subak, sekeha, dadia, dan perbekalan.
2. Atribut Simbolik berkiatan dengan orientasi
perumahan, orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya.
3. Atribut Morpologi menyangkut komponen yang
ada dalam suatu perumahan inti (core) dan daerah periphery di
luar perumahan, yang masing-masing mempunyai fungsi dan arti pada perumahan
tradisional Bali.
4. Atribut Fungsional menyangkut fungsi
perumahan tradisional Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial
yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa.
1. Aspek Sosial
Dalam
pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu:
pertama, teritorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara
bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang
ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa
sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekalan.
(Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa merupakan
pengikat warga yang diatur dengan awig-awig desa, kebiasaan dan
kepercayaan (Bappeda, 1982:32).
Dalam
skala yang lebih kecil sebagai bagian (sub unit) desa dikenal banjar baik
adat maupun dinas. Pengertian Banjar kaitannya dengan desa adat di
Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta
merupakan persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah,
berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984:
18-29; Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional
merupakan bagian desa juga memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan
tiga berupa fasilitas lingkungan berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura
Banjar, sebagai tempat pertemuan,
kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2).
Dari
kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa
adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup beraneka
ragam dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa
adat, 2). Satu desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa
adat mencakup beberapa desa dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3.
Untuk
memproleh pengertian tentang komunitas masyarakat Bali, maka penggambaran
tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut aspek-aspek sebagai berikut:
legitimasi, atribut-atribut dan ciri khusus.
a. Legitimasi
Disamping
adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang pula
dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta dan
terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3).
Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4).
Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya
secara bulat.
Beberapa
syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu: 1). Adanya wilayah dengan
batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan desa atau tanah desa,
2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem kemasyarakatan
di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah tangga)
dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama
banjar (Anonim, 1983), 3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga
desa yang disebut kahyangan tiga, 4). Adanya suatu pemerintahan adat
yang berlandasan pada aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa.
(Bappeda, 1982:31).
b.
Atribut Desa Adat Atribut pokok dari
suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali tersimpul
dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut:
1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura
sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh, Bale Agung dan pura
dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub bagian desa terdapat
fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul dan
pura banjar.
2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga
desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adakah setiap pasangan suami istri
yang telah berkeluarga. Menurut jumlah anggotanya, banjar di Bali dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila jumlah anggotanya lebih
dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila anggotanya
lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di
Bali adalah sekitar 200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata
masing-masing KK ada lima orang maka setiap banjar (penyatakan)
terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof. Antonic terhadap desa-desa adat
dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif untuk sebuah desa adalah lima
ribu jiwa (Bappeda, 1976:14).
3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang
merupakan tempat perumahan warga desa. Perumahan berada pada kedua belah sisi
megikuti pola jalan, Bale Banjar sebagai fasilitas sosial umumnya
terletak pada posisi yang strategis, seperti pada satu sudut persilangan atau
pertigaan jalan di tengah-tengah lingkungan bajar (Putra, 1988).
Disamping
atribut pokok tersebut, masih perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan
pelayanan desa yang menjadi simbol suatu komunitas masyarakat Bali yang
terwujud sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai Pertemuan (Banjar)
tempat terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa yang biasanya
terletak berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan Desa merupakan
tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, 4). Tata susunan
perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya, dan
Nista.
Desa
adat sebagai suatu komunitas dengan
fokus fungsinya dibidang adat dan agama, seperti; uapacara Odalan, Galungan,
Nyepi (Tawur Kesanga), sedangkan dalam skala banjar adat, seperti;
pemeliharaan pura, upacara perkawinan, kematian dan membangun rumah. Dalam
menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang
otonom, dalam arti tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan-aturan
(awig-awig desa). Bidang pemerintahan berada di tangan urusan desa
dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi pemerintahan, pembangunan
desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam hal kedinasan itu, desa dinas
membawahi sejumlah banjar dinas.
2. Aspek
Simbolik
Aspek simbolik pada
perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis. Kegiatan masyarakat
Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang bersifat
sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan yang bersifat profan
(berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan kegiatan tersebut
dibedakan berdasarkan orientasi kesakralannya.
Elemen-elemen ruang
yang dijadikan indikator kesakralan perumahan adalah: 1). Sumbu perumahan
berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan,
2). Lokasi pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi pura dalem (pura
kematian), dan 4). Bale Banjar.
Orientasi arah sakral
pada tingkat perumahan dapat mengarah:
1. Ke arah gunung
atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam.
2. Sumbu jalan (kaja-kelod)
yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung (kaja).
3. Mengarah ke
elemen-elemen alam lainnya.
4. Arah kaja
kangin yaitu arah ke gunung Agung.
Sanga Mandala yang dilandasi konsep
Nawa Sanga adalah konsep tradisional yang didasarkan pada orientasi
kosmologis masyarakat Bali sebagai pengejawantahan cara menuju ke kehidupan
harmonis (Budihardjo, 1968). Nawa sanga menunjuk ke arah delapan penjuru
angin ditambah titik pusat di tengah. Dari kesembilan orientasi ini yang paling
dominan adalah orientasi dengan gunung-laut dan sumbu terbit-terbenamnya
matahari. Daerah yang paling sakral selalu ditempatkan pada arah gunung
(kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan ditempatkan pada arah
yang menuju ke laut (kelod-kauh).
Berdasarkan
urut-urutan tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan elemen
bangunan rumah diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga), pengijeng,
Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon (dapur), jineng
(lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang). (Parimin, 1968).
3. Aspek
Morpologis
Kegiatan dalam
perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) peruntukan, yaitu:
peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran (lihat Gambar.
7).
Peruntukan inti pada
perumahan yang berpola linear terletak pada sumbu jalan menyatu dengan
peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang menuju ke pura desa.
Pada perumahan yang berpola perempatan (Catur patha) peruntukan inti
berada pada persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti umumnya bangunan yang
memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa), Bale banjar dan
Wantilan (Parimin, 1968:91).
Peruntukan
terbangun adalah merupakan wilayah lama, berupa bangunan perumahan yang
dibangun pada awal terbentuknya rumah tersebut, biasanya berada disekitar
peruntukan inti. Peruntukan pinggiran adalah wilayah yang terletak di luar
wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa desa
adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.
4. Aspek
Fungsional
Aspek
fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi
kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga
Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik
dalam skala rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan
didasarkan atas tingkat sakral dan profan. Elemen ruang xang paling sakral
seperti Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen
sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten (tempat tidur),
dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya, kandang ternak atau
kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala permukiman, penerapan
konsep Sanga Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:
a. Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola
Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan)
dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga
Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci
yaitu pura desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa
pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan
perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut).
Untuk jelasnya lihat Gambar 8 dan 11.
b.
Pola Linear Pada pola linear konsep Sanga
Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih didominasi oleh sumbu
kaja-kelod (utara-selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat).
Pada
bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura (pura
bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod)
diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua
daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan
pasar) yang terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar 9.
Pola
linear pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali,
dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.
c. Pola Kombinasi
Pola
kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan
pola linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian
sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola linear. Peruntukan pada
fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di
tengah-tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak
pada ujung utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10.
Pola
tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada pola tata
ruang yang pada kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali
mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan
pada uraian Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali
dapat diklasifikasikan dalam 2 type, yaitu:
1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk
asli Bali yang kurang dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan
ini terletak di daerah pegunungan yang membentang membujur di tangah-tangah
Bali, sebagian beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola
perumahan Bali Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear
yang berfungsi sebagai ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai
sumbu utama desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng),
Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di Karangasem).
2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional
yang banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar
di dataran bagian selatan Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type
pertama. Ciri utama perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang
mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah
Utara-Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat
(Parimin, 1986).
Dalam budaya
tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai
tujuan (Dharma), yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”,
dimana harus tercapai hubungan yang harmonis antara alam semesta yang merupakan
Bhuana agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai Bhuana alit (Mikro
kosmos). Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia (Bhuana
alit) yang mendirikan dan menempati wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana
agung dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai melalui
unsur-unsur kehidupan yang sama yatu “ Tri Hita Karana”.
Perumahan tradisional
Bali sebagai wadah yang memiliki landasan Tatwa; yaitu lima kepercayaan
agama Hindu (Panca Srada), Susila; etika dalam mencapai hubungan yang
harmonis, dan Upacara; pelaksanaan lima macam persembahan (Panca
Yadnya). Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup
sehari-hari, juga untuk menampung kegiatan upacara agama Hindu dan adat,
memiliki landasan filosofi hubungan yang harmonis antara Bhuana agung dengan
Bhuana alit, konsepsi Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, hirarkhi
tata nilai Tri Angga, Hulu-Teben, sampai melahirkan konsep Sanga
Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan segmen berdasarkan tingkat
nilai ke -Utama-annya. Konsepsi-konsepsi ini juga berlaku untuk
perumahan tradisional.
Penerapan
konsepsi-konsepsi perumahan tradisional Bali sesuai dengan konsep Tri
Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi landasan taktis
operasional, mewujudkan pola perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat
diidentifikasi 4 (empat) atribut antara lain:
1. Aspek Sosial;
yang menyangkut sistem kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar (adat),
yang memiliki ciri-ciri, seperti: adanya legitimasi dan atribut desa adat atau
banjar.
2. Aspek Simbolik;
berkenaan dengan orientasi kosmologis antara lain orientasi arah sakral (kaja-kangin)
dan Sanga Mandala atau Tri Mandala.
3. Aspek
Morfologis; yang secara morfologis kegiatan-kegiatan dalam perumahan
tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura),
terbangun (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun).
4. Aspek
Fungsional; berkaitan dengan orientasi kosmologis (Sanga Mandala)
yang tercermin pada tata letak ruang. Dalam skala rumah, Sanggah (Utama),
Meten/tempat tidur (Madya) dan yang kotor (KM/WC) pada daerah Nistha.
Dalam skala perumahan sesuai dengan peletakan fasilitas dan jaringan jalan
melahirkan pola Perempatan (Catus Patha), Linier dan Kombinasi.
Sumber Refrensi :
DAFTAR
PUSTAKA
Adhika, I Made. 1994. Peran Banjar dalam Penataan Komunitas, Studi Kasus Kota
Denpasar. Bandung: Tesis Program S2 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
ITB.
Astika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan Banjar pada Masyarakat Bali. Denpasar:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Kebudayaan Daerah.
Bappeda Tingkat I Bali dan Universitas Udayana. 1982. Pengembangan
Arsitektur Tradisional Bali untuk Keserasian Alam Lingkungan, Sikap Hidup,
Tradisi dan Teknologi. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
Budihardjo, Eko.
1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Penerbit Gajah
Mada University Press.
Seoroto, Myrta.
2003. Dari Arsitektur Tradisional menuju
Arsitektur Indonesia. Myrtle publishing
berkerjasama dengan yayasan 66